Surat Cinta
- monoggra

 - Apr 18, 2020
 - 2 min read
 
Updated: Apr 19, 2020
Sayangku,
Apa kabar? Doaku kamu tetap sehat.
Aku masih sulit tidur. Tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin karena jam di tubuhku.
Sayang,
Apa yang akan kamu baca ini semoga tidak membuat kamu mengira pikiranku terombang ambing. Aku sehat. Lapar, tapi akan kuatasi sebentar lagi.
Di tengah pandemi ini, aku teringat Sarte. Dia hidup di masa yang kurang lebih seperti jaman kita ini. Kacau oleh perang. Dicekam ketakutan.
Sartre mendorong manusia agar mandiri dan lepas dari dari keilahian. Sartre berkeras bahwa Tuhan sudah selesai saat penciptaan. Akal budi dan kehendak bebas yang menyertai penciptaan adalah modal utama manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Saat itu gagasan Sartre belum begitu menarik, karena pikiran manusia sedang tercurah pada amuk perang dunia
Gagasan Sartre lahir karena kemuakan perang. Sempat jadi prajurit, Sastre menyaksikan nyawa melayang begitu mudahnya. Prajurit, bedil, peluru, berbaris ke medan tempur berbekal doa dan panji agama untuk mencabut hidup mereka yang tak sepaham.
Sastre menulis di rumah kopi sepanjang kota Paris. Beradu argumen dengan sesama pemikir lokal. Seabad kemudian, perang dunia babak berikut memporak porandakan Paris, Italy, Eropa, Asia, dan hampir semua daratan di muka bumi. Kali ini dengan bedil yang tak kasat mata.
Aku percaya kita berada di tengah perang dunia. Kita diisolasi dan dipaksa tak berdaya. Agama dan ketuhanan sekali lagi dipertanyakan. Senjata ini melanggar semua aturan dan etika tempur manapun.
Di tengah segala kekacauan, kita berusaha mengambil sudut optimis. Tentang bumi yang diberi kesempatan bernapas lagi, tentang manusia yang menemukan lagi kehangatan bersama keluarga, tentang warga dunia yang bahu membahu meringankan derita sesama, dan tentang manusia yang oleh cinta kasih menemukan lagi kemanusiaannya.
Sartre melihat kekejian dunia dari sudut yang tajam. Namun kita patut bersyukur bahwa perang abad ini, terlepas dari kerusakan yang ditimbulkannya, sedikit banyak menjawab Sartre tentang kemanusiaan saat bangsa meradang melawan bangsa. Aku bersyukur kita menjawab kegelisahan Sartre dengan cara yang epik.
Lalu untuk apa aku tulis surat ini?
Tradisi, sayang.
Perang mengharuskan siapa pun yang terlibat di dalamnya untuk menuliskan pesan bagi mereka yang dicintai, karena peluru yang dilepaskan dari ruang tembak tidak lagi memilih siapa yang akan dilumpuhkan. Tak seorang pun bisa memilih takdirnya.
Aku tulis ini karena kita tidak pernah tau usia kita. Tuhan dan kehendaknya adalah misteri yang tidak selesai.
Aku tulis ini karena aku sadar selama ini aku tidak pernah bisa benar benar menunjukan betap besar cintaku untukmu. Dengan semua kegagalanku, aku nyaris tak berdaya ketika perang ini dimulai. Dan rasanya makin tak berdaya di tengah kengerian yang sedang kita hadapi bersama.
Aku berterima kasih untuk hatimu, untuk semua perhatian, perdebatan, waktu bersama atau waktu tidak bersama yang telah kita lewati.
Saat ini semua berakhir, apabila kita diijinkan hidup, saat buah cinta kita di tubuhku lahir, semoga kita sudah berkumpul lagi.
Kalau pun aku gagal, dan kau gagal, setidaknya dia pernah mendengar tentang dunia indah di luar sana lewat kisah kisah Coelho yang aku dongengkan tiap malam untuknya lewat surat suratmu.
Selamat Ulang Tahun, Cintaku. Namamu selalu kusebut dalam doaku.
31 Maret 2020


Comments